Perubahan iklim dan pemanasan global dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan meningkatnya insidensi penyakit tropis. Peningkatan suhu udara dunia berperan dalam penyebaran penyakit tropis dan vektor penyakit. Penyakit tropis yang dibahas di karya tulis ilmiah ini lebih dispesifikasikan pada penyakit demam berdarah. Dimana penyakit demam berdarah ini, semakin tahun jumlah penderitanya bertambah. Hal ini dibuktikan dari data rumah sakit di provinsi Bali merawat pasien demam berdarah sebanyak 25 sampai 30 orang per hari. Bahkan, selama Januari dan Februari, di Kota Denpasar sudah mencapai 200 orang yang dirawat karena demam berdarah. Diperkirakan tahun 2011 ini, jumlah kasus tersebut akan meningkat terus karena faktor cuaca yang tidak menentu (Sutedja, 2011). Di daerah Sumenep, Jawa Timur, menurut data Dinkes, Sumenep terdapat 62 kasus demam berdarah yang terjadi pada Januari hingga awal Juli ini tersebar di 46 desa di 17 Kecamatan (Lamamul, 2011). Penyakit Demam berdarah dengue (DBD) juga masih menjadi ancaman serius bagi warga Jakarta. Hingga Maret 2011, jumlah kasus DBD di ibukota telah mencapai 1.141 kasus. Tingginya kasus DBD ini membuktikan pemprov belum serius melakukan penanganan secara sungguh-sungguh (Hidayat, 2011). Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Dien Emmawati mengatkan, kasus DBD memang masih ada. Namun jumlahnya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun (Dien, 2011). Sedangkan penyumbang virus DBD terbanyak adalah dari Surabaya dan Jakarta. Karena jumlah kasus demam berdarah di Indonesia tercatat masih tinggi, bahkan paling tinggi dibanding negara lain di ASEAN. Indonesia pun dijuluki menjadi juara demam berdarah di ASEAN (health.detik.com, 2011).
Dari beberapa kasus di atas, ini membuktikan bahwa penanganan untuk kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia belum maksimal. Hal ini menggugah kami untuk berpikir lebih dalam mengembangkan metode pencegahan yang ramah lingkungan. Meskipun ada pernyataan bahwa DBD di Indonesia sulit diberantas karena laju perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang menularkan penyakit itu cukup cepat. Upaya pemberantasan jentik nyamuk selalu kalah cepat dari perkembangbiakan nyamuk tersebut. Memang sudah banyak upaya untuk mencegah meluasnya penyakit tersebut. Namun, upaya yang dilakukan masih sangat kurang. Tindakan preventif seperti pengasapan (fogging), penaburan bubuk abate, dan sebagainya itu tidaklah cukup untuk menghambat perkembangbiakkan nyamuk Aedes aegypti.
Sebenarnya Penyakit DBD yang disebar oleh nyamuk Aedes aegypti ini dipicu oleh kondisi lingkungan yang tidak dikelola dan dijaga kebersihannya dengan baik. Sampah seperti kaleng bekas, wadah plastik yang terbuka, bak penampung air yang tidak dikuras, dan benda-benda lain yang bisa menampung air lainnya yang banyak terdapat di pemukiman, perumahan yang bisa menampung air hujan menyebabkan pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti tumbuh subur, karena nyamuk ini bertelur di air yang tertampung, menjadi jentik dan menjadi nyamuk dewasa. Dengan strategi mengembalikan ekosistem lingkungan dengan baik dan termanajemen (konservasi lingkungan) yang membutuhkan waktu dan kesadaran tinggi dari individu keberhasilannya bisa diandalkan. Selain mengembalikan ekosistem lingkungan, yang perlu dilakukan adalah menghambat pertumbuhan dari larva Aedes aegypti sebelum tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Dengan cara, menghadirkan predator dari larva Aedes aegypti ini. Predator tersebut adalah hewan dari ordo Odonata atau yang biasa disebut capung. Capung juga dikenal sebagai elang nyamuk merupakan agen pengawal yang berkesan. Larva capung (naiads) memakan jentik-jentik dalam penampungan air sementara capung dewasa pula memburu dan memakan nyamuk dewasa, terutama nyamuk harimau asia yang terbang pada waktu siang (Wikipedia, 2011).
Showing posts with label Kedokteran. Show all posts
Showing posts with label Kedokteran. Show all posts
Sunday, November 13, 2011
Wujudkan Indonesia Sehat 2015
Tema: Tropical Desease
Subtema: Pendekatan Sosial Ekologi Pada Penyakit Tropis di Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi serta iklim yang cenderung tropis. Tidak heran bila Indonesia menjadi negara dengan endemik penyakit tropis. Berbagai macam penyakit tropis menjangkit masyarakat Indonesia. Salah satu penyakit tropis yang sering membawa korban terbanyak adalah “demam berdarah”. Hal ini dibuktikan dari data rumah sakit di provinsi Bali merawat pasien demam berdarah sebanyak 25 sampai 30 orang per hari. Bahkan, selama Januari dan Februari, di Kota Denpasar sudah mencapai 200 orang yang dirawat karena demam berdarah. Diperkirakan tahun 2011 ini, jumlah kasus tersebut akan meningkat terus karena faktor cuaca yang tidak menentu (Sutedja, 2011). Di daerah Sumenep, Jawa Timur, menurut data Dinkes, Sumenep terdapat 62 kasus demam berdarah yang terjadi pada Januari hingga awal Juli ini tersebar di 46 desa di 17 Kecamatan (Lamamul, 2011). Penyakit Demam berdarah dengue (DBD) juga masih menjadi ancaman serius bagi warga Jakarta. Hingga Maret 2011, jumlah kasus DBD di ibukota telah mencapai 1.141 kasus.
Tingginya kasus DBD ini cukup mengenaskan. Apalagi Indonesia masih tercatat menjadi negara paling tinggi dengan kasus DBD di ASEAN. Lebih-lebih lagi penyumbang tertinggi virus ini adalah dari kota Jakarta dan Surabaya (health.detik.com, 2011). Menurut Dien Emmawati (Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta), kasus DBD memang masih ada namun jumlahnya semakin menurun dari tahun ke tahun. Tahun 2010, total kasus DBD pada bulan Mei tercatat sejumlah 1.494 dibandingkan pada bulan Mei 2009 yang mencapai 2.470 kasus (beritajakarta.com, 2010).
Menurunnya jumlah kasus DBD terhitung masih tinggi dalam lingkup se-ASEAN. Hal ini yang harus dilirik pemerintah Indonesia agar lebih memaksimalkan pemberantasan dari virus DBD ini. Namun, tidak hanya pemerintah saja yang bertindak tegas, setiap individu pun harus melakukan hal yang sama.
Mengapa harus ada ketegasan di semua pihak? Karena kondisi ekologis Indonesia saat ini sudah sangat memburuk. Lingkungan yang buruk merupakan pemicu dari hadirnya berbagai perubahan iklim, penyakit tropis dan bencana alam. Perubahan iklim dan pemanasan global dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan meningkatnya insidensi penyakit tropis. Peningkatan suhu udara dunia berperan dalam penyebaran penyakit tropis dan vektor penyakit. Bencana alam yang sering terjadi, seperti banjir merupakan faktor pendukung dari penyebaran berbagai penyakit.
Untuk negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini, memang pembangunan diperlukan. Namun, pembangunan juga memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup orang banyak. Padatnya perumahan, gedung-gedung, areal hutan dan sawah dijadikan rumah mengakibatkan rusaknya ekosistem. Tanpa melihat begitu banyaknya rakyat kecil yang berada di sekitar areal tersebut. Menyebabkan terhambatnya aliran air sehingga banjir sering melanda, sanitasi yang buruk, pembuangan limbah pabrik di sungai, semuanya jauh dari yang dinamakan “sehat” itu sendiri.
Sehat juga dimulai dari individu. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang beranggapan acuh dan seenaknya sendiri jugalah menjadikan salah satu faktor kerusakan lingkungan tersebut. Membuang sampah di selokan, sungai, sembarang tempat sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat. Kurangnya pemahaman arti kesehatan inilah yang harus ditanamkan dan penjelasan dampak paling buruk yang diakibatkan oleh tindakan tersebut.
Upaya Pemerintah Indonesia merealisasikan Sasaran Pembangunan Milenium pada tahun 2015 akan sulit karena pada saat yang sama pemerintah juga harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar. Program-program MDGs seperti pendidikan, kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan membutuhkan biaya yang cukup besar (Wikipedia, 2011). Oleh karena itu, khusus membahas program kesehatan dan lingkungan hidup perlu dilakukan oleh masing-masing individu dengan beberapa tim penggerak untuk menjalankan program kerjanya.
Beberapa tindakan kritis dari aktivis lingkungan
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) telah mendesak pemerintahan SBY sejak tahun 2009 lalu dalam upaya tindakan darurat pemulihan ekologis Indonesia melalui program restorasi ekologis (Berri Nahdian Forgan, 2009). Program seperti ini penting dilakukan karena persediaan SDA Indonesia dan kondisi lingkungan yang berada di titik kritis.
Menurut The Society for Ecological Restoration (TSER), restorasi ekologi sebagai aktivitas yang disengaja untuk memulai atau mempercepat pemulihan ekosistem sehubungan dengan integritas dan keberlanjutan. Praktik restorasi ekologi meliputi, luasnya cakupan proyek termasuk pengendalian erosi, reboisasi, penggunaan spesies asli genetik lokal, menghilangkan spesies non-asli dan gulma, revegetasi daerah terganggu, pencahayaan aliran, reintroduksi spesies asli, serta target perbaikan habitat dan spesiesnya.
Subtema: Pendekatan Sosial Ekologi Pada Penyakit Tropis di Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi serta iklim yang cenderung tropis. Tidak heran bila Indonesia menjadi negara dengan endemik penyakit tropis. Berbagai macam penyakit tropis menjangkit masyarakat Indonesia. Salah satu penyakit tropis yang sering membawa korban terbanyak adalah “demam berdarah”. Hal ini dibuktikan dari data rumah sakit di provinsi Bali merawat pasien demam berdarah sebanyak 25 sampai 30 orang per hari. Bahkan, selama Januari dan Februari, di Kota Denpasar sudah mencapai 200 orang yang dirawat karena demam berdarah. Diperkirakan tahun 2011 ini, jumlah kasus tersebut akan meningkat terus karena faktor cuaca yang tidak menentu (Sutedja, 2011). Di daerah Sumenep, Jawa Timur, menurut data Dinkes, Sumenep terdapat 62 kasus demam berdarah yang terjadi pada Januari hingga awal Juli ini tersebar di 46 desa di 17 Kecamatan (Lamamul, 2011). Penyakit Demam berdarah dengue (DBD) juga masih menjadi ancaman serius bagi warga Jakarta. Hingga Maret 2011, jumlah kasus DBD di ibukota telah mencapai 1.141 kasus.
Tingginya kasus DBD ini cukup mengenaskan. Apalagi Indonesia masih tercatat menjadi negara paling tinggi dengan kasus DBD di ASEAN. Lebih-lebih lagi penyumbang tertinggi virus ini adalah dari kota Jakarta dan Surabaya (health.detik.com, 2011). Menurut Dien Emmawati (Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta), kasus DBD memang masih ada namun jumlahnya semakin menurun dari tahun ke tahun. Tahun 2010, total kasus DBD pada bulan Mei tercatat sejumlah 1.494 dibandingkan pada bulan Mei 2009 yang mencapai 2.470 kasus (beritajakarta.com, 2010).
Menurunnya jumlah kasus DBD terhitung masih tinggi dalam lingkup se-ASEAN. Hal ini yang harus dilirik pemerintah Indonesia agar lebih memaksimalkan pemberantasan dari virus DBD ini. Namun, tidak hanya pemerintah saja yang bertindak tegas, setiap individu pun harus melakukan hal yang sama.
Mengapa harus ada ketegasan di semua pihak? Karena kondisi ekologis Indonesia saat ini sudah sangat memburuk. Lingkungan yang buruk merupakan pemicu dari hadirnya berbagai perubahan iklim, penyakit tropis dan bencana alam. Perubahan iklim dan pemanasan global dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan meningkatnya insidensi penyakit tropis. Peningkatan suhu udara dunia berperan dalam penyebaran penyakit tropis dan vektor penyakit. Bencana alam yang sering terjadi, seperti banjir merupakan faktor pendukung dari penyebaran berbagai penyakit.
Untuk negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini, memang pembangunan diperlukan. Namun, pembangunan juga memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup orang banyak. Padatnya perumahan, gedung-gedung, areal hutan dan sawah dijadikan rumah mengakibatkan rusaknya ekosistem. Tanpa melihat begitu banyaknya rakyat kecil yang berada di sekitar areal tersebut. Menyebabkan terhambatnya aliran air sehingga banjir sering melanda, sanitasi yang buruk, pembuangan limbah pabrik di sungai, semuanya jauh dari yang dinamakan “sehat” itu sendiri.
Sehat juga dimulai dari individu. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang beranggapan acuh dan seenaknya sendiri jugalah menjadikan salah satu faktor kerusakan lingkungan tersebut. Membuang sampah di selokan, sungai, sembarang tempat sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat. Kurangnya pemahaman arti kesehatan inilah yang harus ditanamkan dan penjelasan dampak paling buruk yang diakibatkan oleh tindakan tersebut.
Upaya Pemerintah Indonesia merealisasikan Sasaran Pembangunan Milenium pada tahun 2015 akan sulit karena pada saat yang sama pemerintah juga harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar. Program-program MDGs seperti pendidikan, kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan membutuhkan biaya yang cukup besar (Wikipedia, 2011). Oleh karena itu, khusus membahas program kesehatan dan lingkungan hidup perlu dilakukan oleh masing-masing individu dengan beberapa tim penggerak untuk menjalankan program kerjanya.
Beberapa tindakan kritis dari aktivis lingkungan
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) telah mendesak pemerintahan SBY sejak tahun 2009 lalu dalam upaya tindakan darurat pemulihan ekologis Indonesia melalui program restorasi ekologis (Berri Nahdian Forgan, 2009). Program seperti ini penting dilakukan karena persediaan SDA Indonesia dan kondisi lingkungan yang berada di titik kritis.
Menurut The Society for Ecological Restoration (TSER), restorasi ekologi sebagai aktivitas yang disengaja untuk memulai atau mempercepat pemulihan ekosistem sehubungan dengan integritas dan keberlanjutan. Praktik restorasi ekologi meliputi, luasnya cakupan proyek termasuk pengendalian erosi, reboisasi, penggunaan spesies asli genetik lokal, menghilangkan spesies non-asli dan gulma, revegetasi daerah terganggu, pencahayaan aliran, reintroduksi spesies asli, serta target perbaikan habitat dan spesiesnya.
Label:
biologi,
BIOLOGI UMUM,
Kedokteran,
Penyakit Tropis
Subscribe to:
Posts (Atom)