Pages

Saturday, April 14, 2012

UJI TOKSISITAS JAMUR Metarhizium anisopliae TERHADAP JANGKRIK DAN BELALANG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Jamur Metarhizium anisopliae yang sebelumnya dikenal sebagai anisopliae entomophora adalah jamur yang hidup di tanah. Penggunaan Metarhizium anisopliae sebagai agen mikroba terhadap serangga sejak tahun 1879 (Untung Suwahyono, 2009). Metarhizium anisopliae adalah anggota dari kelas Hyphomycetes dengan kategori jamur muscaridine hijau karena warna hijau muncul dari koloni. Jamur ini telah dilaporkan telah menginfeksi sekitar 200 jenis serangga dan arthropoda lainnya. Meskipun Metarhizium anisopliae tidak menular atau beracun untuk mamalia, namun jika menghirup spora dari jamur tersebut dapat menyebabkan reaksi alergi pada individu yang sensitive (Wikipedia, 2010).
Secara fakta, pemakaian insektisida alami untuk pengendalian hama tidak diragukan lagi. Hasil pemanfaatan pestisida biologis yang mengandung agensia hayati di Sumatera Barat mampu menekan serangan hama tanaman sayur hingga 74-90%. Dengan manfaat seperti ini seharusnya pestisida alami bisa cepat diterima oleh para petani (Novizan, 2002).
Penggunaan Metarhizium anisopliae sebagai agen hayati merupakan jenis pestisida microbial (microbial pestiside), yaitu jenis produk biopestisida yang mengandung mikroorganisme (bakteri, fungi, virus, dan protozoa) sebagai bahan aktif (Untung Suwahyono, 2009). Dan jamur yang berlaku sebagai pembasmi serangga pada tanaman disebut bioinsektisida (Untung Suwahyono, 2009). Penggunaan agen hayati Metarhizium anisopliae sudah diketahui dapat menurunkan intensitas organisme pengganggu tanaman utama yang menyerang tanaman padi (Karwan A. Salikin, 2003). Oleh karena itu, keampuhan dari Metarhizium anisopliae akan diuji coba menggunakan insekta lainnya apakah masih berpengaruh atau tidak. Penggunaan agen hayati ini bersifat tidak langsung, yakni dengan mengendalikan serangga hama yang berperan sebagai vector (Karwan A. Salikin, 2003). Inilah kelebihan tersendiri dari penggunaan bioinsektisida dari fungi.
Secara umum Metarhizium anisopliae masuk ke tubuh serangga melalui spirakel dan pori-pori atau kutikula dari tubuh serangga. Setelah masuk ke dalam tubuh serangga, jamur menghasilkan perpanjangan hifa lateral yang akhirnya berkembang biak dan mengkonsumsi organ internal serangga. Pertumbuhan hifa berlanjut sampai serangga tersebut ditumbuhi dengan miselia. Selanjutnya jamur akan beristirahat melalui kutikula dan sporulates, yang membuat serangga tampak seperti diselimuti bulu halus berwarna putih (Novizan, 2002).
Metarhizium anisopliae dapat melepaskan spora (konidia) pada kondisi kelembaban rendah (<50%). Selain itu, jamur tersebut memperoleh nutrisi dari lemak pada kutikula serangga. Jamur ini juga dapat menghasilkan metabolit sekunder seperti destruxin, yang mempunyai sifat insektisida pada serangga (Hari Purnomo, 2010). Zat metabolit sekunder dari fungi inilah yang akan dimanfaatkan sebagai pembasmi hama serangga.
Penggunaan entomopatogen dari jamur adalah sebagai biopestisida dalam bidang pertanian. Karena kita mengenal bahwa insektisida tidak ramah lingkungan. Meski kandungan zat insektisida tersebut dapat membasmi hama atau golongan serangga yang merusak tanaman lebih cepat, namun dampak terhadap tanaman dan lingkungan juga berpengaruh tidak baik (Novizan, 2002). Oleh karena itu, digunakanlah alternatif dari insektisida yaitu biopestisida atau bioinsektida dari jamur. Jamur Metarhizium anisopliae banyak digunakan untuk mengatasi larva macam-macam serangga pengganggu tanaman.
Dalam penelitian ini pengujian toksisitas entomopatogen Metarhizium anisopliae ditujukan terhadap hewan jangkrik dan belalang yang sebagai wakil dari kelompok insekta yang sering merusak tanaman pada umumnya. Kedua hewan ini termasuk dalam satu famili yaitu Gryllidae. Disini akan diuji seberapa toksik racun yang dihasilkan oleh jamur Metarhizium anisopliae terhadap jangkrik dan belalang.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah jamur Metarhizium anisopliae bersifat toksik terhadap serangga seperti jangkrik dan belalang?
2. Berapakah LC 50 dan LC 90 jamur Metarhizium anisopliae terhadap serangga seperti jangkrik dan belalang?
3. Apakah jamur Metarhizium anisopliae dapat dijadikan alternatif biopestisida pada tanaman?

1.1.1 Tujuan
a. Mengetahui toksisitas jamur Metarhizium anisopliae terhadap jangkrik dan belalang
b. Mengetahui LC 50 dan LC 90 jamur Metarhizium anisopliae
c. Mengetahui keefektifan jamur Metarhizium anisopliae sebagai biopestisida

1.1.2 Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut ;
a. Bermanfaat dalam bidang pertanian yaitu sebagai biopestisida
b. Mengendalikan serangan serangga perusak tanaman
c. Biaya produksi yang lebih terjangkau dibandingkan dengan insektisida kimia
d. Ramah lingkungan
e. Mudah untuk dikembang biakkan

1.1.3 Hipotesis
a. Hipotesis Kerja
1. Jika Metarhizium anisopliae dapat membunuh jangkrik dan belalang, maka jamur Metarhizium anisopliae bersifat toksik
2. Jika Metarhizium anisopliae dapat membunuh 5 dari 10 jangkrik dan belalang coba, maka Metarhizium anisopliae dapat dijadikan biopestisida
3. Jika Metarhizium anisopliae membunuh jangkrik dan belalang coba sampai 90%, maka keefektifitasannya sangat tinggi
b. Hipotesis Statistik
1. H0 : Jamur Metarhizium anisopliae dapat membunuh jangkrik dan belalang
H1 : Jamur Metarhizium anisopliae tidak dapat membunuh jangkrik dan belalang
2. H0 : Jamur Metarhizium anisopliae dapat membunuh jangkrik saja
H0 : Jamur Metarhizium anisopliae tidak dapat membunuh jangkrik
3. H0 : Jamur Metarhizium anisopliae dapat membunuh belalang saja
H1 : Jamur Metarhizium anisopliae tidak dapat membunuh belalang

1.1.4 Asumsi
Metarhizium anisopliae adalah tergolong entomopatogen yang bersifat toksik terhadap serangga. Penggunaan Metarhizium anisopliae dapat dijadikan sebagai bio control hayati yang ramah lingkungan. Metarhizium anisopliae dapat mengurangi populasi serangga perusak tanaman petani secara bertahap dan tidak merusak ekosistem dari wilayah tersebut. Metarhizium anisopliae menginfeksi inangnya dengan cara mengeluarkan spora yang kemudian masuk ke dalam pori-pori epidermis serangga atau kutikula serangga, kemudian akan berkembang biak di dalam tubuh serangga dengan mengembangkan hifanya hingga tumbuh banyak miselium. Selanjutnya dengan bertahap akan memakan organ internal dari serangga sehingga serangga akan mati dalam beberapa hari. Kemudian jika benar jamur Metarhizium anisopliae toksik terhadap serangga tersebut, maka serangga yang telah mati akan diisolasi untuk memperoleh bukti yang kuat penyebab kematian serangga tersebut. Setelah itu dilakukan uji LC 50 dan LC 90 untuk mengetahui seberapa jauh keampuhan jamur Metarhizium anisopliae dalam membunuh serangga coba.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.2.1 Tinjauan Pustaka Biopestisida
Pembasmi hama sudah banyak yang beredar di masyarakat, namun yang sering digunakan adalah insektisida kimia. Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida, dan herbisida biologi telah banyak diteliti, tetapi belum banyak yang dipakai. Secara alami, penyakit serangga disebabkan oleh beragam jenis mikroba, seperti bakteri, jamur, fungi, virus dan protozoa yang sering disebut sebagai entomopatogen. Beberapa keuntungan penting dari pemakaian entomopatogen ini adalah pengaruhnya yang spesifik hanya pada serangga tertentu. Belum ada jenis entomopatogen yang dilaporkan menyebabkan pengaruh serius pada manusia, mamalia, dan vertebrata lain. Insektisida biologi membunuh serangga dengan cara yang sangat berbeda dengan pestisida sintetis. Sebagian besar mikroba entomopatogen memperbanyak diri di dalam tubuh serangga inang. Hal ini menyebabkan entomopatogen secara alami mudah tersebar dengan sendirinya (penyebaran sekunder). Namun kendala yang sering dirasakan sehingga insektisida biologi jarang digunakan adalah efek pengendalian populasi hama yang dihasilkan oleh pestisida biologi ini memang lebih lama daripada yang dihasilkan oleh pestisida sintetis. Pestisida biologi membutuhkan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu untuk mematikan serangga setelah terjadinya infeksi yang pertama pada tubuh serangga (Novizan, 2002).
Keuntungan dari penggunaan biopestisida yaitu, tidak meninggalkan residu berbahaya, berkurang secara substansial berdampak pada spesies non target, biaya produksi lebih murah daripada pestisida kimia, dan dalam jangka panjang mungkin lebih efektif daripada pestisida kimia. Namun ada juga kelemahannya, diantaranya: spesifitas yang tinggi akan memerlukan identifikasi tepat dari pathogen/hama dalam pembuatan pestisida, waktu pembasmian hama memerlukan beberapa hari sehingga tidak cocok untuk ancaman hama secara langsung, dan beberapa organism dapat berevolusi dan menigkatkan ketahanan terhadap biologi, kimia, fisik atau bentuk lainnya. (Wikipedia, 2010)

1.2.2 Tinjauan Pustaka Metarhizium anisopliae
Metarhizium anisopliae adalah salah satu cendawan entomopatogen yang termasuk dalam divisi Deuteromycotina: Hyphomycetes. Cendawan ini biasa disebut dengan green muscardine fungus dan tersebar luas di seluruh dunia (Strack, 2003). Koloni cendawan Metarhizium anisopliae pada awal pertumbuhannya berwarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur. Miselium bersekat, diameter 1,98-2,97 µm, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan konidia. Konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9,94 x 3,96 µm.
Temperatur optimum untuk pertumbuhan Metarhizium anisopliae berkisar 220 – 270C (Roddam dan Rath, 1997), walaupun beberapa laporan menyebutkan bahwa cendawan masih dapat tumbuh pada temperatur yang lebih dingin (Bidochka et al., 2000). Konidia akan membentuk kecambah pada kelembapan di atas 90%, namun demikian Milner et al. (1997) melaporkan bahwa konidia akan berkecambah dengan baik dan patogenisitasnya meningkat bila kelembapan udara sangat tinggi hingga 100%. Koloni dapat tumbuh dengan cepat pada beberapa media seperti potato dextrose agar (PDA), jagung dan beras.
Menurut Alexopoulus et al. (1996), klasifikasi Metarhizium anasopliae adalah sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Class : Sordariomycetes
Ordo : Hypocreales
Family : Clavicipitaceae
Genus : Metarhizium
Species : Metarhizium anisopliae

Entomopatogenitas Metarhizium anisopliae
Cendawan ini bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman (Alexopoulus dan Mims, 1996). Cendawan ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia. Metarhizium anisopliae telah lama digunakan sebagai agen hayati dan dapat menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera (Starck, 2003). Metarhizium anisopliae telah terbukti mampu mematikan Plutella xylostella dari ordo Lepidoptera yang menyerang tanaman kubis (Winarto dan Nazir, 2004). Metarhizium anisopliae juga mampu mematikan Ostriania furnacalid Guenee pada tanaman jagung (Freimosser et al. 2003).
Kemampuan entomopatogenitas Metarhizium anisopliae dikarenakan cendawan Metarhizium anisopliae memiliki aktivitas larvisidal karena menghasilkan cyclopeptida, destruxin A, B, C, D, E dan desmethyldestruxin B. Destruxin telah dipertimbangkan sebagai bahan insektisida generasi baru. Efek destruxin berpengaruh pada organella sel target (mitokondria, retikulum endoplasma dan membran nukleus), menyebabkan paralisa sel dan kelainan fungsi lambung tengah, tubulus malphigi, hemocyt dan jaringan otot (Widiyanti dan Muyadihardja, 2005).
Jamur entomopatogen umumnya membutuhkan oksigen, air, sumber karbon dan energi, sumber nitrogen (baik organic maupun anorganik), unsure mikro, serta vitamin untuk pertumbuhannya. Sumber karbon biasanya dari gula kompleks (dekstrose) dapat digantikan dengan polisakarida (zat pati) atau lemak. Kebutuhan nitrogen dapat disediakan dari senyawa nitrat, ammonia, atau senyawa organic seperti asam amino dan protein. Factor utama lainnya adalah mikronutrien sperti fosfor, potassium, magnesium, dan sulfur. Makronutrien yang biasa digunakan, diantaranya kalsium (Ca), Tembaga (Cu), besi (Fe), mangan (Mn), molybdenum (Mo), seng (Zn), vitamin yang larut dalam air, serta vitamin B-kompleks (tiamin dan biotin). Mikronutrien dapat digantikan dengan ekstrak khamir (Untung Suwahyono, 2009).

1.2.3 Tinjauan Pustaka Insekta
Insekta adalah hewan yang hidupnya melalui proses perubahan bentuk tubuh dan pengelupasan kulit. Secara umum dikenal dengan istilah metamorfosis. Sejumlah insekta memiliki bentuk hewan muda yang sangat serupa dengan bentuk dewasa (misalnya kecoa) (Wiwi Isnaeni, 2005). Sedangkan belalang termasuk serangga hama yang bersifat polifag (memakan bermacam-macam jenis/family tumbuhan). Belalang tidak hanya merusak tanaman cabai di persemaian tetapi juga merusak tanaman yang baru dipindahkan ke lapangan. Belalang akan sangat merusak terutama jika menyerangnya secara berkelompok. Pada tanaman cabai belalang biasanya memutuskan tunas-tunas kotiledon, sehingga bibit tanaman cabai tidak dapat tumbuh dengan sempurna atau bahkan dapat menyebabkan kematian. Siklus hidup belalang terdiri dari telur-nimfa-imago. Nimfa (serangga muda) dan imago (serangga dewasa). Untuk pengendalian hama ini diperlukan penyemprotan insektisida (Nur Tjahjadi, 2009).
Serangga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma. Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh seranggga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi. Pertumbuhan cendawan diikuti dengan pengeluaran pigmen atau toxin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain terutama bakteri. Tidak selalu cendawan tumbuh ke luar menembus integumen serangga. Apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di dalam jasad serangga tanpa ke luar menembus integumen. Dalam hal ini cendawan membentuk struktur khusus untuk dapat bertahan, yaitu arthrospora (Ferron, 1985). Pada hewan jangkrik dan belalang, epidermisnya berupa lapisan kutikula yang tebal.


BAB III
METODE PENELITIAN

1.3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Airlangga Surabaya. Pelaksanaan penelitian kurang lebih selama 1 bulan.

1.3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah jamur Metarhizium anisopliae, beras, air, alcohol 70%, media tanam berupa PDA, jangkrik dan belalang. Alat yang digunakan adalah cawan petri, autoclave, jarum ose, api bunsen, dan mikroskop.

1.3.3 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan post test only control group design atau yang disebut Rancangan Acak Lengkap. Strategi yang dirancang dalam penelitian ini melalui tahapan-tahapan berikut, yaitu identifikasi jenis serangga (jangkrik dan belalang), pembiakan jamur Metarhizium anisopliae pada medium PDA, penginfeksian jamur Metarhizium anisopliae dengan cara menaburkan miselium ke tubuh serangga, dan teknik pengumpulan data.


1.3.4 Variabel Penelitian
a. Varibel Bebas
Konsentrasi jamur Metarhizium anisopliae
b. Variabel Kontrol
Serangga coba terdiri dari jangkrik dan belalang
c. Variabel Terikat
Kematian serangga coba yaitu jangkrik dan belalang

1.3.5 Prosedur Penelitian
a. Identifikasi Jangkrik dan Belalang
Mengenal nama dari spesies atau varietas jangkrik dan belalang secara keilmuan dengan mencocokkan morfologi spesies tersebut dengan kunci determinasi kelompok hewan arthropoda atau insekta. Sehingga ditemukan secara spesifik nama spesies ataupun varietasnya.
b. Pembiakan Jamur Metarhizium anisopliae
Pembiakan jamur Metarhizium anisopliae dengan cara menumbuhkannya dahulu pada beras yang diberi air kemudian disimpan dalam kondisi gelap dan kelembaban tinggi. Kemudian ambil miselium dari jamur dengan ose untuk menanam jamur Metarhizium anisopliae agar diperoleh galur murni yang terbaik dalam medium PDA yang disimpan pada suhu 240-270C.
c. Penginfeksian Jamur Metarhizium anisopliae terhadap Jangkrik dan Belalang
Penginfeksian jamur Metarhizium anisopliae dilakukan dengan cara mengambil spora hasil penanaman pada medium PDA dengan jarum ose kemudian menaburkannya ke seluruh tubuh jangkrik dan belalang. Juga dengan penaburan pada daun yang dimakan oleh jangkrik dan belalang. Dosis yang diberikan sesuai dengan pengujian LC 50 dan LC 90.
d. Pengumpulan Data
Amati perkembangan jangkrik dan belalang yang sudah terinfeksi selama kurang lebih 1 minggu. Catat perubahan yang terjadi. Catat juga jumlah yang mati dan berapa lama waktu yang diperlukan agar organism tersebut mengalami kematian.

2 komentar:

BUDAYA BERKOMENTAR SANGAT BAIK... AYO BERKOMENTAR!!

Follow Twitterku

Tukar Link Blog Yuk